Sawah berundak Jatiluwih Bali atau sawah terasering Jatiluwih adalah salah satu tempat wisata di Tabanan yang paling populer dengan pemandangan hamparan sawah berundak-undak yang indah selain Tegalalang rice terrace Ubud, Munduk rice terraces, dan objek wisata pemandangan sawah berundak lainnya di Bali.
Jatiluwih adalah sebuah desa yang mempunyai daerah hamparan persawahan luas dengan panorama sawah bertingkat yang indah yang terletak di wilayah Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan Bali. Desa Jatiluwih terkenal sebagai tempat wisata dengan keindahan sawah terasering yang masih menggunakan sistem pengairan sawah tradisional Bali, lokasinya terletak dekat dengan pegunungan Batukaru dengan kondisi udara yang lumayan sejuk.
Untuk mengunjungi obyek wisata Jatiluwih Bali dengan pemandangan sawah bertingkat-tingkat yang indah ini bisa ditempuh dengan jarak kurang lebih 50 KM atau sekitar ± 1 jam 30 menit dari kota Denpasar. Bagi anda yang sedang liburan di pulau Bali, objek wisata sawah terasering Jatiluwih Bali ini bisa dijadikan pilihan untuk berlibur untuk menikmati keindahan panorama sawah pegunungan yang memikat hati.
Konten |
Sejarah Jatiluwih |
Geografi Jatiluwih |
Warisan Budaya Dunia (UNESCO) |
Pengolahan Sawah & Aktifitas Petani |
Pariwisata Jatiluwih |
Waktu Terbaik Mengunjungi Jatiluwih |
Peta & Lokasi Jatiluwih |
Sejarah Jatiluwih
Untuk mengetahui sejarah Jatiluwih sepenuhnya bersumber pada cerita-cerita orang tua yang merupakan penduduk dari Desa Jatiluwih. Konon ceritanya nama JATILUWIH berasal dari kata JATON dan LUWIH. "JATON" artinya adalah Jimat, sedangkan "LUWIH" berarti bagus, dari arti kata tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Jatiluwih mempunyai arti adalah sebuah desa yang mempunyai Jimat yang benar-benar bagus/ampuh atau berwasiat.
Dari sumber lain diceritakan bahwa konon di tengah Desa ada sebuah kuburan binatang purba yakni seekor burung Jatayu. Dari kata Jatayu ini lama kelamaan mengalami perubahan bunyi menjadi JATON AYU yang berarti Luwih atau Bagus. Jadi JATON AYU sama dengan Jatiluwih. Demikianlah pada akhirnya kata Jatiluwih sejak dulu ditetapkan menjadi nama Desa dan sampai hari ini belum pernah mengalami perubahan.
Dari arti Jatiluwih tersebut sampai sekarang dapat dibuktikan dengan adanya hasil-hasil dari bertani dan berkebun yang cukup memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan bagi semua penduduknya dan terjaminnya keselamatan bagi para penduduknya selama menjalankan kehidupan bertani.
Maka pada jaman dahulu banyaklah berdatangan para Brahmana, Ksatria, Wesia dan Sudra dari daerah Tabanan yang berkunjung ke Desa Jatiluwih dengan harapan memohon keselamatan dan kesejahteraan golongannya masing-masing. Akhirnya mereka itulah kemudian mendirikan Pura-Pura yang ada sekarang di wilayah Desa Jatiluwih seperti Pura Luhur Petali, Pura Luhur Bhujangga Waisnawa, Pura Rshi, Pura Taksu dan tempat-tempat suci yang lain disekitarnya.
Geografi Jatiluwih
Dari segi geografis, Jatiluwih memiliki luas wilayah sekitar 33,22 km2, dengan ketinggian kurang lebih 1,059 meter atau 3,476 kaki diatas permukaan laut. Jatiluwih memiliki iklim tropis pada hampir sepanjang sebagian besar bulan dalam setahun, terdapat curah hujan signifikan di daerah ini, suhu tahunan adalah rata-rata 19.0° C.
Jatiluwih merupakan daerah pertanian dengan petani padi sebagai mayoritas penduduknya. Selain sebagai penghasil beras dan juga beras merah dari hamparan sawah terasering/berundak-undak yang luas dan besar, daerah ini juga menghasilkan tanaman kebun lainnya seperti sayuran, kelapa, kopi, pisang, dll.
Selain daripada itu, pada saat ini di dalam masyarakat Jatiluwih juga telah terbentuk kelompok – kelompok tani yang kemudian akan bisa meningkatkan pendapatan masyarakat seperti kelompok tani ikan, kelompok ternak, dll. Organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan (irigasi) sawah yang digunakan dalam bercocok tanam padi di Jatiluwih dan di pulau Bali pada umumnya disebut dengan istilah Subak.
Warisan Budaya Dunia (UNESCO)
Desa Jatiluwih telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) sejak 29 Juni 2012 karena mempunyai keunikan dan ciri khas pada sistem pertaniannya yaitu dengan menggunakan konsep filosofi Tri Hita Karana (filosofi tentang keseimbangan antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam, serta manusia dengan Sang Pencipta).
Jatiluwih termasuk didalam kawasan Lanskap Subak dari Catur Angga Batukaru yang merupakan salah satu dari 5 kawasan di Bali yang ditetapkan oleh UNESCO menjadi warisan budaya dunia. Secara sosio-kultural manajemen organisasi subak Desa Jatiluwih adalah berdasarkan prinsip dari filsafat Tri Hita Karana yang bertujuan agar tercapai dan terbinanya keselarasan dan keharmonisan antara warga subak dengan sesamanya, warga subak dengan lingkungan/alam, dan warga subak dengan Sang Pencipta/Tuhan sebagai unsur parahyangan.
Pengolahan Sawah & Aktifitas Petani
Jatiluwih sangat terkenal dengan sawah terasering nya dengan sistem irigasi yang bagus yang dikelola oleh anggota subak, terlepas dengan filsafat Tri Hita Karana yang menjadi landasan oleh petani di Jatiluwih maka dalam hal pengolahan lahan sawah pun didasari oleh filsafat tersebut, dalam hal ini adalah hubungannya dengan sang pencipta dengan melakukan beberapa upacara yang merupakan bagian dari aktifitas petani seperti; mengolah sawah, menanam padi, memanen, dan sebagainya, sesuai dengan budaya dan agama Hindu yang dipeluk oleh sebagian besar Petani di Jatiluwih. Adapun upacara yang dilakukan adalah:
- Mapag Toya, yaitu upacara mengambil/menjemput air ke sumber mata air. Upacara ini diikuti oleh semua anggota subak dan dilakukan pada Sasih Ketiga atau sekitar bulan September. Kegiatan ini disebut Kempelan yaitu kegiatan membuka saluran air ke sumber aliran air di hulu subak, selanjutnya air akan mengaliri sawah.
- Ngendag Tanah Carik, yaitu upacara memohon keselamatan kepada Tuhan pada saat membajak tanah sawah yang dilakukan oleh masing-masing anggota subak prosesi ini masih pada Sasih Ketiga (bulan September).
- Ngurit, yaitu upacara pembibitan yang dilakukan oleh seluruh anggota subak pada masing-masing tanah garapannya. Ngurit dilaksanakan pada Sasih Kelima (sekitar bulan Nopember).
- Ngerasakin, yaitu upacara membersihkan kotoran (leteh) yang tertinggal ketika melakukan pembajakan sawah, upacara ini dilakukan setelah pembajakan selesai pada masing-masing tanah garapan pada awal Sasih Kepitu (awal bulan Januari).
- Pangawiwit (Nuwasen), yaitu upacara untuk mencari hari baik untuk memulai menanam padi yang dilakukan pada sekitar Sasih Kepitu (awal bulan Januari).
- Ngekambuhin, yaitu upacara untuk meminta keselamatan kepada Tuhan bagi anak padi yang baru tumbuh yang dilakukan pada saat padi berumur 42 hari pada sekitar Sasih Kewulu (bulan Pebruari).
- Pamungkah, yaitu upacara memohon keselamatan agar tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Upacara ini dilakukan pada Sasih Kawulu (bulan Pebruari).
- Penyepian, yaitu upacara memohon keselamatan agar tanaman padi terhindar dari hama/penyakit dan dilakukan pada Sasih Kesanga (sekitar bulan Maret).
- Pengerestitian Nyegara Gunung, yaitu melaksanakan upacara nyegara gunung yang dilakukan di Pura Luhur Petali dan Pura Luhur Pekendungan (bulan Maret/April).
- Mesaba, yaitu upacara sebelum panen yang dilakukan pada Sasih Kedasa (bulan April) oleh anggota subak pada sawah nya masing-masing.
- Ngadegang Bhatari Sri (Bhatara Nini), yaitu upacara secara simbolis memvisualisasikan Beliau sebagai Lingga-Yoni.
- Upacara Nganyarin, yaitu upacara mulai panen yang dilaksanakan pada Sasih Sada (bulan Juni) oleh anggota subak pada masing-masing sawahnya.
- Manyi, yaitu kegiatan memanen padi (bulan Juli).
- Mantenin, yaitu upacara menaikkan padi ke lumbung atau upacara menyimpan padi di lumbung yang dilaksanakan pada Sasih Karo (bulan Agustus).
Pariwisata Jatiluwih
jatiluwih sangat terkenal dengan keindahan alam dengan sawah terasering nya dan menjadi salah satu tujuan wisata terbaik di tabanan, aktifitas petani di jatiluwih adalah salah satu daya tarik tersendiri bagi wisatawan, pada umumnya kegiatan petani di sawah masih menggunakan cara-cara dan alat-alat tradisional untuk menggarap sawahnya seperti; Mencangkul, Nampadin (membersihkan pematang sawah), Ngelampit (membajak sawah), Melasah (meratakan tanah sawah), Nandur (menanam padi), dll.
Kegiatan petani tersebut benar-benar menjadi salah satu daya tarik tersendiri dan sering kali dijadikan sebagai obyek fotografi oleh wisatawan. Selain itu di kawasan Jatiluwih juga terdapat aktifitas wisata seperti hiking dan cycling, untuk mendukung sarana pariwisata di Jatiluwih juga terdapat penginapan/pondok wisata, cafe, dan warung/rumah makan ataupun restoran yang khusus menyajikan makanan khas dengan beras merah dari hasil pertanian di Jatiluwih.
Waktu Terbaik Mengunjungi Jatiluwih
Untuk mengunjungi obyek wisata Jatiluwih direkomendasikan antara jam 8.00 pagi sampai sore hari sekitar jam 5.00, karena pada antara jam-jam tersebut aktifitas petani banyak dijumpai. Dikarenakan curah hujan yang tinggi di kawasan Jatiluwih maka direkomendasikan bagi para wisatawan agar selalu menyiapkan payung ataupun jas hujan atau ada baiknya sebelum mengunjungi Jatiluwih pengunjung bisa memantau prakiraan cuaca sehari sebelumnya.
Untuk bisa menikmati panorama alam Jatiluwih dengan sawah terasering yang hijau dan indah, wisatawan bisa mengunjungi Jatiluwih diantara bulan Pebruari sampai bulan April, karena pada bulan-bulan tersebut tanaman padi akan tumbuh tinggi, hijau dan menguning. Pada sekitar bulan Juni - Juli (sasih Sada), tanaman padi akan siap di panen dan aktifitas memanen oleh petani akan banyak dijumpai.
Peta & Lokasi Jatiluwih
Peta lokasi sawah terasering Jatiluwih Bali oleh Google Maps
Referensi:
- UNESCO
- National Geographic
- Desa Jatiluwih | Kec. Penebel Tabanan
Permalink: Jatiluwih: Tempat Wisata Pemandangan Sawah Berundak di Bali | Bali Glory
0 Response to "Jatiluwih: Tempat Wisata Pemandangan Sawah Berundak di Bali"
Posting Komentar